Keras Bersuara, Keras Dampaknya: Menyoroti Kontroversi Sound Horeg


 Baskom Online| Annisa Ayuningrum| 1 Agustus 2025

Sound horeg, sebuah istilah yang populer di masyarakat pedesaan dan pinggiran kota, merujuk pada penggunaan sistem audio bervolume tinggi dengan dentuman bass yang keras dalam berbagai acara seperti hajatan, pesta pernikahan, hingga konser dangdut keliling. Istilah ini berasal dari gabungan kata “hore” dan “gerak” yang menggambarkan suasana penuh semangat dan hiburan meriah di malam hari. Namun, di balik euforia tersebut, muncul kontroversi yang semakin mencuat di tengah masyarakat. Penggunaan sound system berdaya besar tanpa batasan waktu maupun tempat kini dianggap telah mengganggu ketentraman warga dan menimbulkan keresahan sosial yang nyata.

Fenomena ini melibatkan berbagai pihak. Penyelenggara acara dan operator sound system tentu menjadi pelaku utama, tetapi yang paling terdampak adalah masyarakat sekitar yang harus menanggung kebisingan hingga dini hari. Pemerintah daerah, yang seharusnya berperan sebagai pengatur dan pengawas ketertiban umum, kerap kali dinilai lamban dalam merespons keluhan warga. Dalam perkembangan terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut bersuara, menyatakan kekhawatiran atas dampak negatif sound horeg terhadap moral, ketenangan, dan harmoni sosial, serta mendesak pemerintah agar tidak menutup mata terhadap situasi ini.

Fenomena sound horeg semakin marak dalam beberapa tahun terakhir, terutama di wilayah-wilayah yang minim regulasi dan pengawasan. Acara yang berlangsung hingga larut malam bahkan dini hari ini acap kali diadakan di daerah pedesaan atau pinggiran kota, tempat di mana tradisi hiburan rakyat masih kuat namun tidak diimbangi dengan aturan yang jelas. Tak hanya soal bising, masalah yang ditimbulkan meluas: dari gangguan waktu istirahat warga, polusi suara, meningkatnya potensi konsumsi alkohol dan tindakan asusila, hingga keretakan hubungan sosial antarwarga akibat perbedaan pandangan terhadap hiburan seperti ini.

Menurut MUI, kegiatan semacam ini bukan hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga merusak moral generasi muda serta membuka celah konflik horizontal di masyarakat. Dalam pernyataan resminya, MUI menegaskan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera bertindak dengan membuat regulasi, melakukan pengawasan di lapangan, serta mengedukasi masyarakat tentang etika dalam menyelenggarakan hiburan. Pembiaran terhadap sound horeg dinilai berpotensi melanggengkan ketidaktertiban dan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang seharusnya dijaga.

Untuk menanggulangi dampaknya, solusi yang ditawarkan mencakup pembentukan peraturan daerah (Perda) yang mengatur batas volume dan jam operasional hiburan malam, kewajiban memiliki izin resmi bagi penyelenggara, pemberian sanksi tegas bagi pelanggar, serta sosialisasi berkelanjutan tentang pentingnya menjaga ketertiban umum. Selain itu, perlu ada alternatif hiburan yang tetap meriah namun tidak merusak kenyamanan publik, misalnya dengan penggunaan teknologi audio yang ramah lingkungan suara atau dengan mengatur zona khusus hiburan jauh dari permukiman padat.

Fenomena sound horeg bukan lagi soal pilihan hiburan, tetapi telah menjadi persoalan publik yang menyangkut kenyamanan, kesehatan mental, moralitas, dan ketertiban. Suara keras boleh jadi hanya berlangsung beberapa jam, tetapi keresahan dan konflik yang ditinggalkan bisa bertahan lama di benak warga. MUI telah menyampaikan sikap tegasnya, dan kini saatnya pemerintah bersama masyarakat bahu membahu menyelesaikan persoalan ini. Karena dalam menjaga harmoni sosial, suara meriah tak seharusnya mengorbankan ketenangan bersama, dan diam terhadap keresahan bukanlah bentuk toleransi, melainkan pembiaran yang berbahaya.


Email Facebook Google Twitter

HIMIKOM

Admin & Editor

Himikomunib.org adalah website Himikom ( himpunan mahasiswa ilmu komunikasi ) universitas Bengkulu

0 comments:

Post a Comment