Warga Desa Lebong Tandai Bengkulu Terjebak Longsor

HIMIKOM

 


Baskom Online| Refina Maharani| Minggu, 21 September 2025

Warga Desa Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, terjebak longsor terhitung sudah 12 hari. Longsor yang terjadi memutus jalur kereta lori warisan Belanda atau Molek yang biasa dipakai masyarakat setempat sebagai akses keluar masuk desa ke Kecamatan Napal Putih. 

Dikutip dari Kompasiana, Erpiana, Kabid Kedaruratan BPBD Kabupaten Bengkulu Utara, dikonfirmasi melalui telepon membenarkan kejadian tersebut. "Longsor menutupi jalur kereta lori warga, akibatnya jalur transportasi warga terganggu. Kejadiannta sejak Rabu, 10 September 2025," ujar Erpiana lewat sambungan telepon, Sabtu (20/9/2025) 

MH, salah satu warga desa Lebong Tandai, dikonfirmasi melalui telepon juga membenarkan kejadian tersebut. "Longsor terjadi saat pagi sekitaran pukul 05.00 WIB dikarenakan hujan yang sangat lebat, sudah lebih dari satu minggu ini, mulai dari hari Rabu sedikit dari warga mulai bergotong-royong membersihkan area longsor," ujar MH lewat sambungan telepon, Minggu (21/9/2025). 

Kondisi lapangan disertai hujan mempersulit tim BPBD untuk menyingkirkan material longsor yang menutupi badan rel kereta lori. "Sejak pertama kejadian, BPBD sudah dikirim tim untuk membersihkan material longsor. Namun, kendala cuaca, medan dan pembersihan alami menjadi kendala. Sekarang sudah dibantu TNI dan Polri," Ujarnya. 

Material longsor yang menutupi jalur kereta lori/ molek sepanjang 50 meter, sementara terdapat jurang dengan kedalaman 50 meter di lokasi, akibat penutupan alur ada beberapa lori/molek yang diangkat dan dipindahkan dari lokasi satu ke lokasi lainnya. Terjadinya 3 (tiga) kali transit selama bencana longsor terjadi yang awalnya dari Kecamatan Napal Putih langsung ke Desa Lebong Tandai jadi Lebong tandai - Lobang Tengah - Gunung Tinggi. 

Warga yang ingin keluar masuk desa saat berada di Daerah Lobang Tengah harus berjalan kaki hingga ke Gunung tinggi karena material longsor yang menutupi badan rel, tidak hanya itu terdapat daerah yang juga terkena dampak longsor seperti Ronggeng. 

Dampak Dari Longsor Lebong Tandai

Dengan terjadinya longsor sejak Rabu 10/9/2025, sembako naik menjadi lebih tinggi hingga 100 persen. Kepala Desa Lebong Tandai, Supriyadi, mengatakan stol sembako saat ini masih cukup, tetapi harganya melonjak sampai 100 persen.

Sedikit Pengetahuan Mengenai Desa Lebong Tandai

Desa Lebong Tandai merupakan desa terpencil dan memiliki sejarah saat masa penjajahan di Bengkulu. Desa Lebong Tandai dulunya desa yang sangat megah dengan fasilitas yang lengkap dimulai dari Hotel, Hellypad, Bar, Bioskop Teater, Billiard, hingga Penari Ronggeng yang didatangkan langsung dari Pulau Jawa pada saat itu. Lebong Tandai juga sempat menjadi daerah yang diperebutkan oleh 6 Negara Eropa pada zaman penjajahan. Emas yang berada di puncak Monas di Jakarta sebagian besar diambil dari Wilayah ini. Belanda menggunakan lori untuk membawa emas keluar dari wilayah Desa Lebong Tandai untuk dikirim ke Belanda. Saat Indonesia Merdeka hingga saat ini, kereta lori masih tetap digunakan oleh warga setempat sebagai transportasi menuju Kecamatan Napal Putih

Demo Gen Z Nepal 8–9 September Memuncak: Gedung Dibakar, Puluhan Korban, Presiden Dievakuasi

HIMIKOM

 

Risma Dewi Utami| Baskom Online| Kamis, 11 September 2025

Kathmandu, Nepal – Gelombang demonstrasi yang dipimpin generasi muda Nepal pada 8–9 September 2025 berakhir dengan kerusuhan besar-besaran. Aksi yang awalnya menolak kebijakan pemblokiran 26 platform media sosial itu berubah menjadi tragedi nasional karena puluhan orang tewas, gedung pemerintah dibakar, hingga presiden harus dievakuasi.


8 September: Aksi Damai Berubah Mencekam

Pada Senin (8/9), ribuan massa memenuhi jalanan Kathmandu. Sebagian besar adalah anak muda Gen Z yang marah atas larangan pemerintah terhadap media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, WhatsApp, dan X. “Media sosial adalah ruang hidup kami. Membatasi itu sama saja membunuh suara kami,” ujar Sanjay Maharjan (21), mahasiswa yang ikut aksi.

Ketika aparat mencoba membubarkan dengan gas air mata dan peluru karet, suasana berubah mencekam. Massa menyerbu gedung parlemen, membakar gerbang, serta merusak fasilitas publik. Bentrokan mentebar ke kawasan perumahan pejabat pemerintah, beberapa rumah menteri bahkan dibakar massa. Salah satu korban adalah istri seorang pejabat senior, yang dilaporkan meninggal setelah kediamannya diserang. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan publik dan membuat situasi tak terkendali.


9 September: Presiden Dievakuasi, Menteri Mundur

Kerusuhan berlanjut pada Selasa (9/9), Aparat kewalahan menghadapi gelombang massa. Gedung-gedung pemerintah menjadi sasaran pembakaran termasuk kantor kementerian dan rumah dinas pejabat. Situasi semakin genting sehingga Presiden Nepal terpaksa dievakuasi ke lokasi aman, guna menghindari serangan massa. Beberapa menteri juga menjadi korban amarah rakyat Menteri Luar Negeri sempat dipukuli, sementara Menteri Keuangan dikejar hingga nyaris terjebak massa. Dampak politik pun bergulir cepat, Sejumlah menteri mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas krisis. Pemerintah akhirnya menggelar rapat darurat dan memutuskan mencabut larangan media sosial. “Kami mendengar suara rakyat. Pemerintah akan meninjau ulang kebijakan digital agar lebih sesuai dengan prinsip demokrasi,” kata Menteri Komunikasi Rekha Sharma dalam konferensi pers. 


Data resmi menyebut 19 orang tewas, namun laporan media lokal memperkirakan korban bisa lebih dari itu. Ribuan orang luka-luka akibat bentrokan, dan puluhan rumah serta fasilitas publik hangus terbakar. Organisasi HAM internasional mengecam keras tindakan represif aparat dan mendesak investigasi transparan. “Tragedi ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Pemerintah Nepal harus bertanggung jawab,” bunyi pernyataan Amnesty International. Bagi banyak pihak, protes besar ini adalah simbol perlawanan generasi muda terhadap sistem politik yang dianggap korup dan represif. “Kemarahan ini bukan hanya soal media sosial. Ini tentang ketidakadilan yang menumpuk selama bertahun-tahun,” kata Ritu Sharma, aktivis perempuan yang ikut aksi. Pengamat politik dari Tribhuvan University, Anil Thapa, menilai peristiwa ini bisa menjadi titik balik bagi demokrasi Nepal. “Gen Z telah menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar pengguna media sosial, tapi motor perubahan. Tekanan politik yang lahir dari aksi ini akan memengaruhi arah negeri dalam jangka panjang.”