Photo source: tempo.com
Baskom Online| Maria Meilany Lumbantoruan| 22 november 2025
Belém, Brasil Delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) mendapat kritikan tajam setelah dianugerahi gelar satir “Fossil of the Day” oleh Climate Action Network (CAN) International pada 15 November 2025. Penghargaan ini mencerminkan kecaman atas dugaan pengaruh industri fosil dalam negosiasi iklim, terutama dalam pembahasan Pasal 6.4 Perjanjian Paris. Menurut CAN, posisi delegasi Indonesia sangat selaras dengan poin-poin dari surat terbuka kelompok industri karbon yang menuntut pelonggaran aturan mekanisme karbon dalam Pasal 6.4 seperti persyaratan keawetan (“permanence”) karbon dan proteksi proyek berbasis alam. Mereka menuduh bahwa Indonesia “mengulang” narasi industri fosil dalam intervensi resmi negosiasi.
Kritik semakin kuat setelah terungkap bahwa dalam rombongan delegasi Indonesia terdapat sekitar 46 orang pelobi dari perusahaan fosil (minyak, batu bara, industri berat) yang terdaftar sebagai “party overflow delegates” status yang memungkinkan mereka memasuki ruang negosiasi setelah kuota delegasi utama terisi. Dari sisi pemerintah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegaskan komitmen Indonesia pada mekanisme pasar karbon yang adil dan berbasis ilmiah. Haruni Krisnawati, Staf Ahli Menteri, menyatakan bahwa Indonesia menolak aturan yang terlalu kaku seperti penyesuaian baseline otomatis, karena bisa merugikan proyek karbon berbasis alam seperti hutan gambut dan mangrove.
Namun, kritik dari aktivis tidak surut. Greenpeace Indonesia menyebut keterlibatan pelobi fosil sebagai bukti “corporate capture” bahwa kepentingan oligarki energi fosil mengarahkan negosiasi negara berkembang dalam forum iklim internasional. Arip Yogiawan dari Trend Asia menambahkan bahwa hadirnya pelobi industrial ini menunjukkan agenda ekstraktif lebih dominan daripada agenda keadilan iklim. Sementara itu, menurut laporan DW, CAN mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak menyuarakan kepentingan pelobi fosil yang hanya mengejar keuntungan finansial.
Di sisi lain, Indonesia juga menegaskan strategi ambisius di COP30. Pemerintah menargetkan transaksi karbon senilai Rp 16 triliun melalui mekanisme pasar karbon berkualitas tinggi. Staf delegasi menyatakan bahwa Indonesia menyiapkan sesi “Seller Meet Buyer” di Paviliun Indonesia untuk menjual karbon alam dan energi.
Menurut Antara, Indonesia juga mendorong agar aturan Pasal 6.4 mencerminkan keadilan bagi negara berkembang. Haruni Krisnawati menyatakan bahwa mekanisme karbon global harus inklusif dan tidak memberatkan negara-negara dengan proyek alam berbasis mitigasi seperti hutan. Sebelum COP30 berlangsung, pemerintah juga menegaskan komitmen pengurangan emisi. Deputi Pengendalian Perubahan Iklim KLH/BPLH, Ari Sudijanto, menyatakan dalam pertemuan tingkat menteri pra-COP bahwa Indonesia tetap bersemangat dengan semangat “gotong-royong” global.
Meski demikian, kontroversi pemberian “Fossil of the Day” menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas diplomasi iklim Indonesia. Beberapa pengamat menyatakan bahwa kritik ini bisa menurunkan kepercayaan internasional terhadap CAT (carbon-credit) dari Indonesia, serta mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam mekanisme pasar karbon. Bagi Indonesia, tantangan ke depan bukan hanya soal target finansial, tetapi juga soal menjaga transparansi dan legitimasi. Apakah pemerintah mampu menyeimbangkan kepentingan industri dengan tanggung jawab iklim, atau justru terperangkap dalam pengaruh korporasi fosil, akan sangat menentukan citra dan peran Indonesia di arsitektur iklim global.

0 comments:
Post a Comment