“Terjerat dalam Jaringan Digital” Mengupas Dampak Psikologis Perbudakan Modern di Era Teknologi

 “Terjerat dalam Jaringan Digital”

Mengupas Dampak Psikologis Perbudakan Modern di Era Teknologi


Oleh: Rafiqoh Wahidah 


  Angkat tangan jika kamu pernah terjebak dalam kisah horor di mana sinyal wifi tiba-

tiba menghilang di tengah pertemuan zoom yang penting, dan kamu merasa seperti sedang

terperangkap di “Twilight Zone” versi teknologi. Tetapi tahukah kamu bahwa ada jenis

perbudakan modern yang terjadi di balik layar ponsel kita?


  Mari kita jalin diskusi ini dengan gaya yang lebih segar dan menarik, sembari

melempar pandangan cepat pada sebuah perandaian. Coba bayangkan, saat kamu sedang

asyik menelusuri berita di media sosial, tiba-tiba layar gawai mu penuh dengan judul

‘Terjerat dalam Jaringan Digital’. Rasanya seperti momen dari film fiksi ilmiah, tetapi inilah

kenyataan yang mungkin tidak kamu sadari. Cobalah kita letakkan lensa perhatian kita di era

digital yang penuh canggih ini. Di tengah laju perkembangan zaman yang semakin maju dan

kebisingan notifikasi ponsel kita yang tak pernah reda, siapa sangka bahwa perbudakan masih

terjadi.

  Perbudakan sering kali hanya dihubungkan dengan praktik pada era kolonialisme.

Namun, di zaman modern ini, masih terjadi banyak praktik “Slavery” yang dilakukan di

Indonesia. Bahkan, Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-19 dalam Global Slavery

Index tahun 2016. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi, perbudakan modern ini tidak hanya

terjadi dalam dunia fisik, melainkan juga menyelinap ke dalam dunia maya. Benar-benar

seperti skenario dari film fiksi ilmiah, bukan?

  Dalam era di mana teknologi mendominasi hampir setiap aspek kehidupan kita,

terbuka pula pintu bagi tantangan baru terhadap kemanusiaan. Di balik kilauan dunia digital

yang modern, ada realitas gelap yang tak terhindarkan, yaitu perbudakan modern (modern

slavery). Meskipun terasa jauh dari zaman modern, nyatanya hal ini masih eksis dalam

bentuk yang lebih rahasia dan sering kali tak terlihat di tengah dunia digital. Artikel ini akan

mengupas tuntas bagaimana era digital telah mengintensifkan perbudakan modern dan

dampaknya terhadap kesehatan mental, serta menyajikan solusi yang dapat kita terapkan

guna menekan persentase angka terjadinya perbudakan modern di Indonesia.

  

Sebelum kita melangkah lebih dalam, penting untuk memahami arti dari istilah

perbudakan modern itu sendiri. “Modern Slavery” atau perbudakan modern merujuk pada

praktik-praktik yang melibatkan pengekangan, eksploitasi, dan pemanfaatan manusia dengan

cara yang mirip dengan perbudakan tradisional, tetapi terjadi dalam konteks zaman modern.

Praktik ini melibatkan penyalahgunaan hak asasi manusia, pekerjaan paksa, perdagangan

manusia, eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk penindasan yang merampas hak manusia

terhadap kebebasan.

  Perbudakan modern terus berlangsung karena adanya kesadaran tentang situasi

sosial-ekonomi di Indonesia yang menjebak sejumlah masyarakat yang tidak mempunyai

pilihan, serta kurangnya pengetahuan sejak semula soal apa yang mereka ikuti. Di tengah era

dengan pesatnya perkembangan teknologi, perbudakan modern telah mengambil wujud baru

dalam bentuk perbudakan digital, di mana teknologi dan internet dimanfaatkan untuk

memanipulasi, mengendalikan, atau mengeksploitasi korban.

  Dalam banyak kasus, para korban perbudakan modern tidak memiliki kebebasan

untuk memilih atau melarikan diri dari situasi yang merugikan mereka. Mereka seringkali

diperlakukan seolah hanya barang komoditas yang dapat diperjualbelikan, tanpa

mendapatkan hak dasar dan martabat manusia yang seharusnya dihormati. Sayangnya, isu

ini sering kali terjadi di tempat-tempat yang sulit diakses dan tidak menjadi masalah yang

diprioritaskan. Seperti halnya semua orang, mereka yang terjebak dalam jaringan perbudakan

modern masuk ke dalamnya dengan harapan dapat memperbaiki kehidupan mereka, serta

akibat kurangnya pemahaman tentang cara menghadapi pengaruh negatif media sosial.

  Setelah memahami konsep perbudakan modern, mari beralih pada pembahasan

mendalam mengenai perbudakan modern dalam dunia digital. Penting untuk menyadari

bahwa era digital telah memberikan jalan yang lebih luas bagi perbudakan modern untuk

berkembang. Salah satu isu mengenai perbudakan digital yang sedang hangat

diperbincangkan saat ini adalah kasus “Revenge Porn”. Permasalahan ini seakan menjadi

plot drama yang tersasar dalam panggung dunia digital. Bayangkan saja, ada seseorang yang

dengan seenaknya menyebarkan konten seksual tanpa izin, lalu menjadikannya sebagai

senjata untuk mengancam, memeras, mengendalikan, dan merendahkan korban.

  Menurut penelitian dari Cyber Civil Rights Initiative, sekitar 1 dari 25 orang dewasa

di Amerika Serikat pernah menjadi korban “Revenge Porn”. Ini bukan hanya sekadar bualan,

melainkan masalah serius yang mencoreng cahaya dunia digital yang cerah.

Di tengah era digital yang seharusnya membawa kebebasan dan konektivitas,

paradoksnya adalah teknologi juga memberikan alat bagi pelaku perbudakan modern untuk

mengontrol dan mengeksploitasi korban mereka. Tantangan utama yang dihadapi oleh

korban perbudakan modern adalah isolasi dan teror psikologis. Teknologi yang semakin

canggih justru memungkinkan pelaku mengawasi dan mengendalikan korban melalui pesan

teks, panggilan telepon, dan jejaring sosial. Ini menciptakan rasa ketidakamanan konstan dan

perasaan terperangkap dalam keadaan tanpa akhir. Dalam situasi ini, gangguan stres pasca-

trauma (PTSD), depresi, dan kecemasan menjadi rekan setia yang dapat meruntuhkan

kesejahteraan mental korban.

  Meskipun dampak psikologis perbudakan modern dalam era digital adalah tantangan

yang serius, solusi ada di ujung jari kita. Edukasi dan kesadaran masyarakat adalah langkah

awal yang penting dalam mengatasi masalah ini. Memahami tanda-tanda perbudakan modern

dan cara melaporkannya adalah langkah pertama menuju pencegahan dan perlindungan

korban potensial. Meskipun teknologi memainkan peran dalam mengintensifkan dampak

perbudakan modern pada kesehatan mental, ia juga dapat menjadi alat bagi pemulihan. Kita

dapat mengubah arahnya, dari alat yang bisa membantu perbudakan menjadi semakin

tersembunyi, menjadi alat yang membebaskan dan memberdayakan. Aplikasi kesehatan

mental, konseling online, dan platform komunitas adalah sumber daya yang dapat membantu

korban mengatasi dampak psikologis yang mereka alami.

  Namun, ada pula tantangan yang perlu diatasi dalam mencari solusi. Kekhawatiran

tentang privasi dan keamanan seringkali menghalangi korban perbudakan modern untuk

mencari bantuan. Mereka takut bahwa melaporkan atau mencari dukungan akan

membahayakan mereka lebih lanjut. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga

terkait untuk memastikan bahwa informasi korban dilindungi dan bahwa proses bantuan

dilakukan dengan penuh rahasia.

  Dalam dunia digital yang semakin terkoneksi, perbudakan modern masih ada di

antara kita, merenggut kebebasan dan martabat manusia. Menghadapai kenyataan mungkin

lebih gelap dari apa yang kita bayangkan, namun kita tidak bisa hanya terus mengangguk dan

beranjak pergi. Ini adalah panggilan untuk bertindak, untuk melawan perbudakan modern

yang terus tumbuh di era teknologi ini. Dalam suasana yang semakin terkoneksi dan canggih,

mari kita buktikan bahwa kita tidak akan membiarkan layar digital yang kita cintai menjadi

panggung bagi ketidakadilan dan penderitaan.

  Terkadang, jawaban dari masalah yang tampak tak terkendali adalah langkah-langkah

kecil yang kita ambil bersama. Meskipun seringkali terhanyut dalam pusaran teknologi, hal

tersebut hendaknya tidak menghalangi kita untuk menjadi suara yang berbicara bagi mereka

yang terjerat dalam jaringan perbudakan modern. Saat kita tenggelam dalam dunia maya,

jangan lupakan bahwa setiap tindakan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, bisa

menjadi langkah kecil yang membantu menghentikan siklus perbudakan modern di era ini.

Mari kita tinggalkan bekas jejak yang berarti di dunia digital. Sudah saatnya kita

menjadikan teknologi sebagai kekuatan untuk kebaikan, dan alat untuk mengatasi

permasalahan yang tersembunyi. Kita adalah generasi yang mampu merubah narasi,

membangun solusi, dan membantu mereka yang terpinggirkan mendapatkan kembali

kebebasan dan hak mereka.

  Jadi, mari kita berdiri bersama, menjalin aksi-aksi nyata di balik layar dan di dunia

nyata. Mari kita berbicara dengan suara yang berani, menginspirasi perubahan, dan

memastikan bahwa di era teknologi ini, kemanusiaan tetap menjadi nilai utama. Dalam

rangkaian kode dan algoritma, mari kita ciptakan jejak harapan dan keadilan bagi mereka

yang telah terjerat dalam jaringan digital. Masa depan adalah milik kita untuk dibentuk, dan

bersama, kita bisa membuatnya bebas dari bayang-bayang perbudakan modern.

Email Facebook Google Twitter

HIMIKOM

Admin & Editor

Himikomunib.org adalah website Himikom ( himpunan mahasiswa ilmu komunikasi ) universitas Bengkulu

0 comments:

Post a Comment