Generasi Zillenial : Mental Rentan

Generasi Zillenial : Mental Rentan

oleh : Cindy Dwi Amalia


  Perkembangan teknologi yang pesat tidak selalu mengantarkan kepada hal-hal

positif yang sifatnya memudahkan semata, namun juga berpotensi menjadi masalah. Arus

deras informasi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesiapan emosi akan

memunculkan labilitas yang tinggi dalam diri individu penerima informasinya dan akan

memberikan efek domino terhadap kesehatan mental. Generasi Zillenial atau yang sering

dikenal dengan sebutan Gen-Z merupakan tingkatan generasi yang sangat dekat dengan

teknologi, dimana klasifikasi Gen-Z ini adalah dominan remaja dengan rentang usia 11-

26 tahun.

  Hidup berdampingan dengan media dan merupakan makhluk audio-visual

membuat remaja kesulitan dalam mengurangi interaksi mereka dengan dunia digital.

Sebagian telah menganggap bahwa dunia digital merupakan bagian dari hidup mereka

yang harus di konsumsi dan akan mengurangi kebahagiaan apabila tidak terjadi interaksi

dalam beberapa jam saja. Media sosial merupakan salahsatu sumbangsi terbesar dalam

mempengaruhi kesehatan mental utamanya remaja, sebagaimana data yang didapatkan

dari Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022 bahwa

profil pengguna internet tertinggi di Indonesia di sepanjang tahun 2021-2022 merupakan

remaja dengan presentase 75,50% dari populasi yang ada. Ini berhasil membuktikan

bahwa remaja sudah mampu dikatakan ketergantungan terhadap dunia digital.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa anak-anak serta remaja

di seluruh dunia mengalami kerentanan untuk mengalami gangguan kesehatan mental

akibat penggunaan media sosial. Mayoritas gangguan mental yang dialami remaja akibat

penggunaan media sosial berlebih yaitu gangguan kecemasan, depresi hingga bunuh

diri. Produksi konten media yang tidak mampu di prediksi akan memunculkan masalah

yang signifikan terhadap cara berpikir dan bertindak.

 Pemerintah salah satunya melalui program suicide awareness campaign yang

dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sudah berupaya menghadirkan solusi, dimana

mereka menjadikan hasil pencarian berbagai macam hal yang berkaitan dengan bunuh

diri menjadi call center yang kemudian nantinya akan membantu para korban dengan

gangguan kesehatan mental untuk mendapatkan konsultasi secara gratis. Hal ini

merupakan bentuk nyata kepedulian pemerintah terhadap kesadaran akan pentingnya

kesehatan mental. Tentu bukan tanpa alasan, ini berkaitan penuh dengan cita-cita

Indonesia di 2045 yakni Menuju Indonesia Emas. Koordinator Tim Ahli Sekretariat

Nasional SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Yanuar Nugroho mengatakan, kondisi

kesehatan mental kaum muda sekarang tergolong memprihatinkan. Padahal, mereka

adalah kunci Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan

pemanfaatan bonus demografi. Ketidakstabilan emosi remaja era ini akan memberikan

efek jangka panjang yang apabila tidak ditangani secara cepat dan komprehensif akan

menghambat tujuan dan cita-cita tersebut. Selain itu, dalam upaya membatasi konsumsi

berita sensitif maupun hoax, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi

menerapkan sensitivity screens pada informasi yang dianggap mampu memicu

kecemasan. Tak hanya itu, beberapa aplikasi juga sudah mulai memahami bahwa

beberapa konten yang berpotensi mengganggu kesehatan adalah berbahaya, sehingga

beberapa dari mereka menerapkan fitur takedown berdasarkan apa yang menurut mereka

tidak pantas ditayangkan.

 Namun realitas menunjukkan bahwa tidak terdapat penurunan yang signifikan

terhadap gangguan kesehatan mental atas banyaknya upaya yang telah dilakukan. Ini

mengindikasikan bahwa masalah tersebut muncul tidak hanya berasal dari luar saja,

namun juga dari dalam diri remaja tersebut. Beberapa dari mereka yang tidak

mendapatkan hidup ideal kemudian mengonsumsi konten yang berbanding terbalik

dengan kehidupan mereka akan cenderung memunculkan ketidakpercayaan diri,

penolakan diri, hingga depresi. Sedangkan yang lainnya rentan terpicu karena konten

media tidak bertanggungjawab menyebarluaskan informasi tidak valid namun mampu

diterima oleh remaja, ini merupakan bentuk labilitas emosi. Sebagai contoh, pada owned

media Tiktok, seringkali memberikan kesempatan kepada content creator yang tidak

berdasar untuk naik ke permukaan halaman sehingga gampang diakses oleh semua orang

dan dipercayai karena diberitakan secara berulang.

 Ini merupakan tantangan yang harus mendapatkan penyelesaian segera. Akses

layanan kesehatan mental yang minim dan perbedaan era kehidupan antar-generasi

membuat remaja cenderung kesulitan menemukan safety place dan ruang dengar yang

aman atas masalah yang mereka alami.

 

 Berdasarkan hal ini, maka solusi yang dapat ditawarkan terbagi menjadi dua

klasfisikasi skala, yakni skala mikro dan skala makro. Pada skala mikro solusi yang dapat

diterapkan melalui scoop terkecil adalah meningkatkan kemampuan filterisasi dan literasi

remaja. Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran akan pentingnya pembatasan

dalam konsumsi informasi dan pengenalan kapasitas tampung informasi bagi diri sendiri

sehingga apa yang diterima oleh remaja akan sesuai dengan kebutuhan mereka, karena

kesadaran akan kapasitas diri sudah mereka dapatkan.

 Selanjutnya adalah kemampuan literasi. Menurut data UNESCO yang

dipublikasikan pada tahun 2017, mengatakan bahwa minat literasi di Indonesia sangat

memprihatinkan, yakni 0,001% yang artinya hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki

minat literasi. Namun dengan data lain, diketahui informasi yang miris dimana

masyarakat Indonesia mampu menatap layer gadget kurang lebih 9 jam dalam sehari

(data wearesocial 2017). Ini mendeskripsikan bahwa dengan kurangnya minat literasi

maka kemampuan filter terhadap informasi yang diterima oleh remaja sangatlah kurang.

Inilah salah satu faktor penyebab gangguan kesehatan mental pada remaja. Karena

sebagian dari mereka belum mampu mengetahui apa informasi yang dibutuhkan,

informasi yang benar dan informasi yang seharusnya diabaikan.

 Mekanisme solusi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan sejak 7 tahun lalu, dimana setiap sekolah diwajibkan memiliki pojok

literasi untuk membangkitkan semangat membaca. Namun terdapat mekanisme solusi

lain yakni dengan menggencarkan pintar ber-gadget! dengan menjadikan manajemen

waktu penggunaan gadget dan bijak membaca. Siapapun tidak mampu mendikte orang

lain utamanya remaja, namun remaja dapat di kontrol melalui ketersediaan konten pada

media digital. Peralihan era tentu tidak sepenuhnya hanya berdampak terhadap

kemudahan semata, namun akan juga memberikan tantangan. Penanganan dan

identifikasi masalah secara tepat yang dalam hal ini adalah kesehatan mental remaja akan

melahirkan output yang sesuai meskipun tidak sepenuh menutupi seperti apa yang

diharapkan.

Email Facebook Google Twitter

HIMIKOM

Admin & Editor

Himikomunib.org adalah website Himikom ( himpunan mahasiswa ilmu komunikasi ) universitas Bengkulu

0 comments:

Post a Comment