HIMIKOM
7:52 PM
Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) yang diadakan oleh bidang PO (Pengembangan Oragnisasi) HIMIKOM. Acara pembukaan ini dihadiri oleh beberapa pengurus HIMIKOM peiode 2016, Ketua Umum HIMIKOM Periode 2016 Debi Febriansyah Ramadhan, serta panitia dan peserta PMO tahun 2016. Setelah Ketua Umum Himikom Debi Febriansyah Ramadhan memberikan kata sambutan sekaligus membuka acara secara resmi. Kegiatan PMO pada tahun ini sedikit mengalami perubahan, PMO tahun ini dilaksanakan dalam 2 hari yakni pada tanggal 12-13 November 2016 di R. 6 GKB 2 UNIB. Setelah pembukaan, acara selanjutnya adalah penyampaian Materi Kepemimpinan yang disampaiakan oleh Opi Lovizon, materi ini disampaikan mulai pukul 09.20-10.30 WIB setelah materi habis dilanjutkan dengan post test selama 10 menit. Post test yang diberikan juga merupakan salah satu penilaian untuk pemilihan putra putri serta peserta terbaik PMO tahun 2016. Materi kedua yaitu materi keuangan. Materi keuangan ini baru pertama kali diberikan dalam acara Pelatihan Manajeman Organisasi (PMO), yang bertujuan agar peserta mengetahui mengenai sistem keuangan yang ada di HIMIKOM dan bagaimana pengelolaan uang tersebut. Materi keuangan disampaikan oleh Bendahara Umum HIMIKOM Periode 2014 yaitu Diyah Pitaloka. Materi keuangan berlangsung pukul 12.30 sampai 13.00 WIB, setelah penyampaian materi peserta langsung diberikan post test selama 10 menit. Setelah itu peserta melakukan ISHOMA. Setelah itu acara kembali dilanjutkan dengan penyampaian materi surat menyurat oleh mantan Sekretaris Umum HIMIKOM yaitu Siska Oktalia Hasta. Materi surat menyurat ini berlangsung pada pukul 13.00-14.30 WIB dan dilanjutkan dengan post test. Dan acara Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) hari pertama selesai pada pukul 15.00 WIB
Pelatihan Managemen Organisasi hari kedua dimulai dengan recheking peserta dan selanjutnya pemberian materi manajemen konflik oleh Aldi Winata. Setelah pemberian materi, peserta dan pemateri melakukan sesi tanya jawab selama kurang lebih 10 menit. Pemberian materi manajemen konflik ini berlangsung dari pukul 08.30-10.30 WIB. Selanjutnya pada pukul 10.40-12.10 WIB adalah pemberian materi oleh Antonius Maras, yakni materi mengenai analisis swot. Setelah pemberian materi dilanjutkan dengan games sekaligus post test. Setelah itu pada pukul 12.20-13.00 WIB acara selanjutnya adalah ISHOMA. Setelah itu peserta diberikan materi tentang teknik sidang oleh Meigi Dio Spingte, yakni pada pukul 13.00-14.00 WIB setelah itu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab sekaligus menjadi penilaian untuk pemilihan putra putri PMO 2016. Setelah sesi tanya jawab, acara selanjutnya adalah praktek sidang yang berlangsung dari pukul 14.10-16.30 WIB. Para peserta sangat antusias saat melakukan praktek sidang yang diarahkan oleh pemateri setelah praktek sidang dilakukan acara pun berakhir dan dilanjutkan dengan acara penutupan serta pemilihan putra putri serta peserta tebaik PMO 2016, terpilih sebagai putra PMO 2016 Hans Muhammad Roja serta Nadya Sukmawati Dewi sebagai Putri PMO 2016 dan Hizkia Edward Sumule sebagai peserta terbaik dalam acara PMO tahun 2016. Setelah acara ditutup secara resmi oleh Ketua Umum HIMIKOM Periode 2016, Debi Febriansyah Ramadhan. Sebelum pulang kerumah para peserta, panitia, pengurus HIMIKOM berfoto bersama setelah itu para peserta pun diperkenankan untuk pulang kerumah masing-masing.
HIMIKOM
7:49 PM
HIMIKOM kembali mengadakan PDKV (Pelatihan Desain Komunikasi Visual) pada tahun 2016 ini yang dilaksanakan satu hari yaitu tanggal 05 November 2016 bertempat di ruang kuliah 7 GB 2 FISIP UNIB . Pelatihan ini di gunakan sebagai wadah pengembangan dan pembelajaran dalam hal Desain Komunikasi Visual seperti pembuatan brosur, pamflet, ilustrator serta vector.
Pada kali ini yang menjadi Tim Pelaksana adalah pengurus HIMIKOM karena dianggap lebih efektif dari tahun sebelumnya dengan mahasiswa baru 2016 yang menjadi pesertanya, serta dari umum. Selain dianggap lebih efektif pelatihan ini juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan terlebih dahulu kepada mahasiswa ilmu komunikasi khususnya mahasiswa baru ( mahasiswa Ilmu Komunikasi 2016 ). Pada tahun ini Pelatihan Desain Komunikasi Visual 2016 diikuti oleh 59 peserta.
Pada 5 November acara diawali dengan rechecking peserta. Selanjutnya acara dimulai dengan pembukaan. Acara pembukaan Pelatihan Desain Komunikasi Visual ini di buka oleh Kapala Bidang Penalaran dan Keilmuan (PK), Nina Ambarsari. Acara pembukaan PDKV 2016 ini mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan, karena masih menginstal program photoshop dan ilustrator di laptop atau notebook para peserta. para peserta diajarkan bagaimana caranya mendesain, dan membuat pamflet dan brosur. Hal ini akan sangat berguna dikemudian hari saat mereka menjalankan kepanitian di acara-acara HIMIKOM selanjutnya. Dengan pameldo aziz yang menjadi pengisi materi serta ada beberapa pengurus yang membantu mendampingi peserta dalam proses pembelajaran pembuatan pamflet. Setelah bisa membuatnya sendiri pada pukul 11.00 peserta di berikan kesempatan untuk mendesain dan membuat sendiri banner mereka dan hasil akhirnya akan dinilai oleh Tim pelaksana yang mana yang paling bagus. Akhirnya terpilih 2 orang yang paling bagus diantara peserta perempuan dan laki-laki. Yang pertama Dhian Ariasyah dan yang kedua Astari Triavanny. Pemberian hadiah secara simbolis diberikan kepada Ivan Valdi Mahmoeddin dan Pameldo Aziz.
Pada pukul 13.30 acara dilanjutkan dengan pemberian materi oleh alumni Ilmu Komunikasi yaitu Oklis Fetrawa dengan materi logo Remaking yang menggunakan aplikasi Ilustrator dan logo yang digunakan untuk praktek ialah logo HIMIKOM. Setelah pemateri memberikan materi para peserta ditugaska untuk mengedit sendiri logo HIMIKOM dari awal setelah selesai akan dinilai oleh tim pelaksana. Editan logo yang terpilih sebagai yang terbaik yaitu Nurhan Fajri dan Cemara. Secara simbolis hadiah diberikan oleh Kabad Periklanan Periode 2016 Sultan Kharis Ukima dan Ketua Bidang Penalaran dan Keilmuan (PK) Periode 2016, Nina Ambarsari. Setelah itu acara dilanjutkan dengan foto bersama antara tim pelaksana, pengurus HIMIKOM dan para peserta. Setelah itu para peserta diperbolehkan untuk pulang dan acara PDKV 2016 selesai.
HIMIKOM
7:43 AM
Teori ini pertama kali dikemukakan
oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama Schiller yang dijadikan
dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural Domination.
Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di
seluruh dunia ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi
media massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat
untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi
media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat
media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan
media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli di negara ketiga.
Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan menjadi industri yang juga mementingkan laba.
Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film Titanic ada kesan kapal Titanic tersebut benar-benar ada, padahal itu semua tidak ada. Bahkan ketika kapal tersebut akhirnya menabrak gunung es dan tenggelam, seolah para penumpang kapal itu seperti berenang di laut lepas, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Semua itu bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Negara dunia ketiga tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk itu jauh lebih murah jika dibanding dengan membuatnya sendiri. Berapa banyak media massa Indonesia yang setiap harinya mengakses dari media massa Barat atau kalau berita dari kantor berita Barat. Setiap hari koran-koran di Indonesia seolah berlomba-lomba untuk menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan, foto demonstrasi di Jakarta yang seharusnya bisa difoto oleh wartawan Indonesia sendiri justru berasal dari kantor berita AFP (Perancis). Sesuatu yang sulit diterima, tetapi nyata terjadi.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Kejadian ini bisa dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan oleh media massa Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga.
Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Teori imperislisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetepi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa pengaruh perubahan, meskipun sedikit.
Sumber : Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan menjadi industri yang juga mementingkan laba.
Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film Titanic ada kesan kapal Titanic tersebut benar-benar ada, padahal itu semua tidak ada. Bahkan ketika kapal tersebut akhirnya menabrak gunung es dan tenggelam, seolah para penumpang kapal itu seperti berenang di laut lepas, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Semua itu bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Negara dunia ketiga tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk itu jauh lebih murah jika dibanding dengan membuatnya sendiri. Berapa banyak media massa Indonesia yang setiap harinya mengakses dari media massa Barat atau kalau berita dari kantor berita Barat. Setiap hari koran-koran di Indonesia seolah berlomba-lomba untuk menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan, foto demonstrasi di Jakarta yang seharusnya bisa difoto oleh wartawan Indonesia sendiri justru berasal dari kantor berita AFP (Perancis). Sesuatu yang sulit diterima, tetapi nyata terjadi.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Kejadian ini bisa dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan oleh media massa Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga.
Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Teori imperislisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetepi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa pengaruh perubahan, meskipun sedikit.
Sumber : Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
HIMIKOM
12:01 AM
Gathering futsal merupakan acara yang
diadakan oleh Badan Olahraga HIMIKOM. Kali ini Gathering futsal diadakan pada
tanggal 29-30 Oktober 2016 di Sunan Futsal, Talang Kering Kota Bengkulu.
Kegiatan ini diadakan pada weekend dan diikuti oleh angkatan All Star, 2010,
2012, 2013, 2014, 2015, 2016 putra dan putri angkatan 2014, 2015, dan 2016. Acara
ini bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi antar angkatan. Pada kali ini
yang menjadi juara adalah :
1. Juara 1 :
Ilmu Komunikasi 2015
2. Juara 2 :
Ilmu Komunikasi 2014
3. Juara 3 :
Ilmu Komunikasi All Star
·
Putri
1. Juara 1 :
Ilmu Komunikasi 2016
2. Juara 2 :
Ilmu Komunikasi 2015
3. Juara 3 :
Ilmu Komunikasi 2014
HIMIKOM
10:57 AM
Spiral of Silence adalah salah satu bagian dari teori
komunikasi massa, yang secara bahasa arti dari “Spiral adalah lingkaran atau perputaran” dan “Silence bermaknakan diam atau sunyi”. sedang menurut ilmu komunikasi
bahwa Spiral of Silence adalah salah satu dari teori komunikasi massa yang ketika
seorang atau individu memiliki opini tentang berbagai isu, akan tetapi,
ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya
secara terbuka atau tidak. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi,
individu-individu itu kemudian akan mencari dukungan bagi opini mereka dari
lingkungannya, terutama dari media massa. Dengan demikian posisi yang tadinya
minoritas bisa berkembang menjadi lebih mendekati mayoritas
karena mereka sudah mendapat dukungan. Namun selama
dukungan tidak diperoleh atau dianggap tidak memadai mereka akan tetap merasa sebagi
minoritas dan akan terus memilih untuk mencari jalan aman dengan menyembunyikan
opininya (menerima opini kelompok mayoritas).
Untuk lebih mendekatkan pemahaman tentang maksud teori
spiral of silence ini, sebuah cerita singkat sebagai contoh
di bagian berikut ini:
“Makan bersama sekali dalam setiap
bulan adalah kegiatan yang dihidupkan di tempat kerja Feny sebagai ajang untuk
refreshing sekedar keluar dari rutinitas kantor yang menjemukan. Acara makan
bersama itu semakin menjadi acara yang ditunggu setelah berbagai program acara wisata
kuliner, membuat para karyawan saling berlomba merekeomendasikan tempat-tempat
makan favorit dengan nuansa yang berbeda. Suatu hari Winda teman sekantor Feny
merekomendasikan sebuah warung makan dengan khas daerah Tabagsel, menu utamanya
adalah ikan sungai yang disaji ala daerah, lengkap dengan lalapnnya. Semua
teman sekantor menyambut gembira, tinggal Feny yang terpaksa diam melihat
respon gembira teman-temannya. Ikan sungai bukanlah makan favorit Feny, apalagi
ditambah dengan lalapnnya saja Feny sudah tidak selera, tapi Feny tidak berani
mengakui dan mengungkapkan pendapatnya pada teman-temannya. Ia lebih baik
memilih diam dan berharap dalam hati mudah-mudahan diwarung itu tidak hanya
ikan sungai saja yang menjadi sajiannya”
Dari cerita singkat diatas
dapat dipahamai bahwa Teori Spiral of Silence atau Teori Spiral kesunyian/keheningan secara ringkas berupaya menjawab pertanyaan mengapa
orang-orang dari kelompok minoritas sering memilih untuk menyembunyikan
pendapatnya ketika berada dalam kelompok mayoritas, bahkan sesorang (kelompok
minoritas) yang berada dalam kelompaok mayoritas pun merasa perlu untuk
mengubah pendapatnya ketika merasa berbeda dengan yang lainnya Dan Teori Spiral of Silence juga dapat diuraikan sebagai : kelompok minoritas
yang memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan
terisolasi menentukan apakah kelompok minoritas itu akan mengekspresikan
opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, kelompok
kecil itu mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkungannya, terutama dari
media massa.
Spiral of silence merupakan fenomena yang melibatkan
jalur komunikasi media dan pribadi. Media mengumumkan opini yang menonjol.
Individu mengungkapkan opini mereka atau tidak bergantung pada sudut pandang
yang dominant; media selanjutnya mengikuti opini yang diungkapkan dan spiral
tersebut berlanjut. Teori spiral of silence dapat dianggap sebagai bagian dari
tradisi sosiopsikologis karena penekanannya pada apa yang dilakukan oleh
manusia dalam menanggapi situasi yang mereka hadapi, dan
yang menarik dari teori spiral of silence ini adalah interaksi yang kompleks
antara pernyataan individu, penggambaran media dan opini masyarakat.
Namun, teori spiral of silence tidak berlaku bagi seluruh
individu masyarakat, sebab teori tidak berpengaruh bagi orang-orang
yang dikenal sebagai avant garde dan hard core. Yang dimaksud
dengan avant garde di sini ialah
orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka akan semakin kuat, sedangkan
orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard
core ialah mereka yang selalu menentang, apa pun konsekuensinya.
Timbulnya Teori
Spiral of Silence
Teori spiral of silence
ini muncul karena individu pada umumnya
berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian
mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya orang akan
mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang
bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer,
maka ia cenderung kurang berani mengekspresikan disebabkan adanya ketakutan
akan terisolasi tersebut.
Secara singkat spiral of
silenece ini muncul disebabkan oleh rasa takut akan pengasinga atau dikucilkan,
dan spiral of silence ini bukan hanya tentang keinginan untuk berada pada pihak
yang menang, tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari pengasingan dari
kelompok sosial. Ancaman kritik dari orang lain merupakan kekuatan yang besar
dalam membungkam individu.
Teori Spiral of silence
berada pada sebuah isu kontroversial, orang-orang membentuk kesan tentang
distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah mereka merupakan
mayoritas, dan kemudian mereka mencoba menentukan apakah opini Publik sejalan
dengan mereka. Apabila mereka merasa adalah minoritas, maka mereka cenderung
untuk diam berkenaan dengan isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin orang
lain merasa bahwa sudut pandang tertentu tidak terwakili.
Jumlah orang yang tidak
secara terbuka mengekspresikan pendapat yang berbeda dan perubahan dari
pendapat yang berbeda kepada pendapat yang dominan. Sebalikya,
pendapat yang dominan akan menjadi semakin luas dan kuat. Semakin banyak orang
merasakan kecendrungan ini dan menyesuaikan pendapatnya, maka satu kelompok
pendapat akan menjadi dominan, sementara lainnya akan menyusut. Jadi
kecendrungan seseorang untuk menyatakan pendapat dan orang lainnya menjadi
dinamakan mengawali suatu proses spiral yang meningkatkan kemapanan satu
pendapat sebagai pendapat umum atau pendapat yang dominan.
Teori Spiral of silence mengacu
hanya pada satu prinsip,
walaupun itu merupakan salah satu yang paling penting dari komunikasi massa.
Dalam istilah umum teori Spiral of silence ini lebih memperhatikan pengaruh
antara empat elemen yaitu: komunikasi massa; komunikasi interpersonal dan
relasi sosial; ungkapan opini individu; dan persepsi individu yang ada di
sekitar ’opini iklim’ mereka dalam lingkungan sosial.
Penelitian
memperlihatkan kelompok memainkan peranan penting dalam membentuk pendapat dan
perilaku individu, dimana individu akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
pendapat atau perilaku yang dipersepsikan sebagai pendapat atau perilaku
bersama. Individu
tampak tidak ingin terlihat “asing” atau tampak aneh dari orang kebanyakan.
Karena itu, orang umumnya akan menekan pendapat
pribadinya dan menyesuaikan diri dengan pendapat yang dinilai sebagai pendapat
masyarakat banyak.
C. Tokoh Teori Spiral of
Silence
Teori ini petama kali dicetuskan oleh
Elisabeth Noelle-Neumann Ia adalah ilmuwan politik Jerman. Neumann (1974)
memperkenalkan spiral keheningan sebagai upaya untuk menjelaskan di bagian
bagaimana opini publik dibentuk.
inti dari teori ini berfokus pada apa yang terjadi ketika
orang-orang menyatakan opininya mengenai topik yang telah didefinisikan oleh
media bagi khalayak. Orang yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang
minoritas terhadap isu-isu publik akan menarik diri dan diam di belakang yang
mana komunikasi mereka dibatasi. Orang enggan untuk mengekspresikan pandangan
minoritas mereka, terutama karena takut dikucilkan. Sedangkan mereka yang
memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih terdorong untuk bersuara.
Media sendiri akan berfokus pada pandangan mayoritas dan
meremehkan pandangan minoritas. Ini membuat minoritas menjadi lebih tidak
telibat dalam mengkomunikasikan opini mereka yang menyebabkan munculnya spiral
komunikasi yang bergerak ke bawah. Individu dalam kaum minoritas pun akhirnya
akan menilai pengaruh mereka secara berlebihan dan makin tidak berani dalam berkomunikasi.
Teori ini secara unik menyilangkan opini publik dan
media.Opini publik di sini merujuk pada sentimen kolektif dari sebuah populasi
terhadap subjek tertentu. Media seringkali menentukan subjek apa yang menarik
bagi khalayak dan membuatnya menjadi kontroversial.
Pendapat Tokoh Terhadap Teori Spiral Of Silence
Teori dicetuskan oleh Elisabeth Noelle-Neumann sebagai salah satu ilmuwan politik Jerman, dimana teorinya ini muncul
berlatarbelakangkan sebagai upaya untuk
menjelaskan bagaimana opini publik dibentuk. Inti Teori ini
berfokus pada apa yang terjadi ketika orang-orang
menyatakan opininya mengenai topik yang telah didefinisikan oleh media bagi
khalayak. Orang yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang minoritas
terhadap isu-isu publik akan menarik diri dan diam di belakang yang mana
komunikasi mereka dibatasi. Orang enggan untuk mengekspresikan pandangan
minoritas mereka, terutama karena takut dikucilkan. Sedangkan mereka yang
memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih terdorong untuk bersuara. Media
sendiri akan berfokus pada pandangan mayoritas dan meremehkan pandangan
minoritas. Ini membuat minoritas menjadi lebih tidak telibat dalam
mengkomunikasikan opini mereka yang menyebabkan munculnya spiral komunikasi
yang bergerak ke bawah. Individu dalam kaum minoritas pun akhirnya akan menilai
pengaruh mereka secara berlebihan dan makin tidak berani dalam berkomunikasi.
Teori ini secara unik menyilangkan opini publik dan media. Opini
publik di sini merujuk pada sentimen kolektif dari sebuah populasi terhadap
subjek tertentu. Media seringkali menentukan subjek apa yang menarik bagi
khalayak dan membuatnya menjadi kontroversial.
Pendapat para tokoh
tentang teori ini menyatakan bahwa
Teori ini bersifat heuristik karena telah menarik ilmuwan lain untuk melakukan
penelitian. Berbagai topik menyatakan bahwa teori ini dan konsep-konsepnya
merupakan hal yang layak untuk dikaji.
Konsistensi logis Kritik telah difokuskan pada prinsip-prinsip teori dan konsep. Charles Salmon dan F. Gerald Kline (1985) merasa bahwa Spiral of Silence gagal untuk mengakui keterlibatan ego seseorang dalam masalah. Kadang-kadang, orang mungkin bersedia untuk berbicara karena ego mereka yang terlibat dalam topik tersebut. Tak selamanya orang-orang berbicara hanya karena mereka memandang dukungan untuk opini mereka. Selain itu ilmuwan teori ini terlalu percaya bahwa rasa takut akan isolasi membatasi orang untuk mengemukakan opini.
Konsistensi logis Kritik telah difokuskan pada prinsip-prinsip teori dan konsep. Charles Salmon dan F. Gerald Kline (1985) merasa bahwa Spiral of Silence gagal untuk mengakui keterlibatan ego seseorang dalam masalah. Kadang-kadang, orang mungkin bersedia untuk berbicara karena ego mereka yang terlibat dalam topik tersebut. Tak selamanya orang-orang berbicara hanya karena mereka memandang dukungan untuk opini mereka. Selain itu ilmuwan teori ini terlalu percaya bahwa rasa takut akan isolasi membatasi orang untuk mengemukakan opini.
Carroll Glynn dan Jack McLeod (1985) mengklaim bahwa
Noelle-Neumann tidak empiris dalam menguji asumsi bahwa takut isolasi mendorong
orang untuk tidak berbicara. Selain itu, Noelle-Neumann tidak mengakui pengaruh
bahwa komunitas masyarakat dan kelompok referensi terhadap pendapat orang.
Mereka percaya bahwa Noelle-Neumann terlalu banyak berfokus pada media.
Menurut penulis teori
spiral kesunyian ini tidak begitu penting berperan dalam media massa, sebab
teori yang dicetuskannya ini, menurut para tokoh komunikasi masih banyak
memiliki kekurangan tentang keterangan ataupun penjelasan secara terperinci
tentang terori tersebut dari Neumann sendiri yang mengakibatkan terori
ntersebut tidak banyak berpengaruh bagi media massa.
Aplikasi Teori Spiral
of Silence
Teori ini erat kaitannya dengan kehidupan nyata. Misalnya
dinegara kita ini sendiri; Di Indonesia, terjadi dua kelompok besar yang setuju
dengan penerapan demokrasi dengan yang tidak setuju. Bagi kelompok yang pro
demokrasi dikatakan bahwa demokrasi adalah hasil akhir dan paling baik yang
akan mengantarkan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih baik di masa yang
akan datang. Asumsi lainnya, bahwa masyarakat itu adalah pilar utama negara,
maka demokrasi harus dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan bagi
kelompok penentang demokrasi mengatakan bahwa kita sudah punya cara sendiri
dalam mengatur negara dan masyarakat Indonesia, kita punya Pancasila, dan kita
adalah bangsa yang mementingkan persatuan. Demokrasi hanya akan mengancam
keharmonisan hidup selama ini.
Berbagai pendapat yang bertolak belakang tersebut
berkembang dan “bertarung” baik dalam wacana keseharian atau disebarkan melalui
media massa. Baik yang pro dan kontra sama-sama kuat di dalam membentuk opini
publik. Namun, sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dunia, ide
pelaksanaan demokrasi akhirnya bisa dikatakan menang. Mereka yang dahulunya,
menolak demokrasi mulai melunak. Sementara kelompok yang dahulunya penentang
demokrasi lebih memilih diam. Sebab, mayoritas opini yang berkembang adalah
mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Begitu juga bila kita analisa tentang kejadian jatuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998, ia merupakan contoh kasus tentang kebenaran
teori Spiral Of Silence di Indonesia. Selama Orde Baru, kita kletahui bahwa:
pemerintahan Soeharto yang bertumpukan demokrasi Pancasila betul-betul
demokratis, mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan adalah contoh dari
demokrasi yang dimaksud, bahwa pers Indonesia bebas, dan rakyat bebas
menyatakan pendapatnya, serta pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya.
Pendapat minoritas di luar itu praktis habis
"dibunuh" dan mereka yang kokoh dengan pendapat minoritas pun
akhirnya takut menyuarakannya; atau tidak lagi ada media yang berani
menyuarakannya. Namun akhirnya sejarah berbalik, opini mayoritas berhasil dihancurkan,
dan opini minoritas bangkit mengemuka dengan berani ke hadapan publik sehingga
menjadi opini mayoritas. Keterbalikan opini minoritas sehingga menjadi opini
mayoritas di atas dikarenakan oleh kelompok minoritas terus “bergerilya” pada
kelompok mayoritas yang bisa diajak untuk berdialog. Sehingga diskusi-diskusi
yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia saat itu adalah tentang
“cacatnya” rezim pemerintahan Orde Baru, yang akhirnya bermuara pada gerakan
reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa se-Indonesia.
Kritik terhadap Teori
Spiral of Silence
Ada beberapa ketidaksepakatan tentang kelayakan teori dan
metodologi karya Noelle-Newmann ini. Pengritik melihat bahwa :
1.
Formulasi teorinya
tidak lengkap,
2.
Konsep-konsep
utamanya tidak dijelaskan dengan memadai.
3.
Di samping itu,
spiral of silence, sebagai teori opini publik, dikelompokkan bersama
perspektifnya yang lain tentang masyarakat dan media massa.
4.
Di pihak lain, spiral
of silence ini memperlakukan opini publik sebagai suatu proses dan bukan
sebagai sesuatu yang statis. Perspektif itu juga memperhatikan dinamika
produksi media dengan pembentukan opini publik.
5.
Begitu juga bahwa Noelle-Neumann
sendiri sebagai perumus teori Spiral Of Silence mengatakan bahwa teori ini
hanya berlaku secara situasional dan kontekstual, yakni hanya sekitar
permasalahan pendapat dan pandangan pada kelompok. Dan, teori ini tidak
memiliki pengaruh bagi orang-orang yang dikenal sebagai avant garde dan hard
core.
Subscribe to:
Posts (Atom)