Discourse Analysis

HIMIKOM
Discourse Analysis in communication science derived from Marxist Critical thinking. (Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and Denis K. Davis, 2000). There are three schools of thought that fall into this category, namely: (1). Teun A Van Dijk (2) The flow of Frankfurt (Frankfurt School), (3). Cultural Studies (Cultural Studies), (4). Women's Studies (Feminist Study).
Discourse analysis in the life of media also have a deep understanding. According to Norman Fairclough (1995), discourse is the language used to represent a social practice, from the point of view. Fiske, discourse must be interpreted as a statement or expression of more than one paragraph; W. O'Bar, discourse is the submission of ideas from one to another. (Stephen Harold Riggins, 1997); Eriyanto (2001), discourse is closely related to communication activities, which
substance can not be separated from words, language, or paragraph. In (Sobur Alex, 2001), discourse is a series or a series of said speech act that reveals something (the subject) are presented regularly, systematically, in a coherent whole, formed by elements of the segmental and nonsegmental language.
The emergence of discourse analysis, particularly in the field of text analysis gave birth to the different variants of media analysis that ultimately led to the interface between analytical model with each other. Model analysis of media texts and versions of Norman Fairclogh Teun A Van Dijk, for example, both emphasize text analysis based on social context. In the Indonesian version of the theory of analysis of media texts adapted quite well by Eryanto. In this book Eryanto analytical model compilation presents various media texts from various perspectives presented Foulcault, Roger Fowler, Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A Van Dijk, and Norman Fairclouch text of newspapers with the example of Indonesia. Understanding the perspective of media texts Suroso also investigated by mapping four different perspectives Indonesia's pro media community, country, others, and neutral.
This paper wants to describe discourse analysis model Teun A van Dijk is in many respects continued its analysis by Norman Fairclouch models. To enrich the analysis of materials also alluded to the understanding of discourse and ideology in the press Roger Fowler, a newspaper analysis of cases of post reform in Indonesia

Tahun 2012, P3M Fisip Unib Ditiadakan

HIMIKOM
Bengkulu - Tahun 2012 mendatang, kegiatan Penalaran, Penelitian dan Pengabdian Mahasiswa atau biasa disebut P3M yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu ditiadakan. Keputusan ini ditetapkan kemarin (23/12) saat rapat koordinasi antara Pembatu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fisip Unib Tamrin Bangsu bersama Ketua Jurusan dan Bupati Hima dari tiap-tiap Jurusan dan Prodi yang ada di lingkungan Fisip Unib. dalam rapat koordinasi ini juga turut hadir pejabat Badan Eksekutif Mahasiswa Fisip Unib.

Rapat koordinasi yang diselenggarakan di ruang rapat utama Dekanat Fisip ini sempat memanas saat pihak fakultas mengajukan rekomendasi untuk mengadakan kegiatan P3M di awal masuk. dan KBS yang dilakukan Hima boleh diadakan tapi saat libur akhir semester Satu. Tentu ini mengundang reaksi keras dari HIMIKOM dan Hima ADMIRA yang selama ini selalu mengadakan KBS di awal masuk mahasiswa baru.

“Kalau kita laksanakan P3M diawal, saya kira ini lucu mengingat mahasiswa baru masih perlu banyak belajar bagaimana bersikap ditengah masyarakat banyak. Jangan sampai nanti malah akan membuat citra buruk bagi lembaga pendidikan Universitas Bengkulu” ujar Bupati HIMIKOM Edwin Syaputra, Bupati Hima ADMIRA Arizona juga menilai bahwa perlu ada pembenahan kembali kegiatan tahunan ini.

‘Saya menilai kegiatan P3M saat ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya, jika memang ingin mengadakan kembali kita harus merancang dan memperbaiki terlebih dahulu secara keseluruhan mulai dari konsep hingga susunan kepanitiaan serta system pendanaan dari kegiatan ini.” TAmbah Arizona.

Setelah terjadi perdebatan yang cukup panjang, akhirnya diambillah alternative voting untuk menentukan apakah dari masing-masing Hima sepakat kembali mengadakan P3M pada tahun 2012 dan jadwalnya di awal masuk perkuliahan dan KBS dilaksanakan diakhir semester Satu.

Meskipun selisih suara hanya satu, yakni yang setuju P3M kembali diadakan 3 HIMA (HIMASOS, HIMA Jurnalistik, HIMA Sekretaris) dan yang menyatakan tidak sejuju ada 4 HIMA (HIMIKOM, HIMA Admira, HIMASTRA, HIMA KS) sedangkan HIMA Perpus dinyatakan Golput karena tidak hadir dalam rapat. Voting tersebut akhirnya menghasilkan keputusan untuk tahun 2012 mendatang P3M tidak diadakan.

Pertemuan ini diselenggarakan lantaran sebelumnya telah dilakukan Rapat Senat Fisip Unib dan menghasilkan salah satu keputusan yakni pihak Fakultas keberatan dengan menarik dana 2 kali dalam waktu berdekatan yakni untuk P3M dan untuk KBS.
Lalu akhirnya PD III mengambil keputusan untuk menentukan secara bersama-sama apakah P3M akan tetap diadakan atau tidak. Selain itu, PD III menilai KBS belakangan mengganggu perkuliahan mahasiswa baru.

Dalam pertemuan ini juga sempat ditawarkan mengadakan P3M dengan konsep baru. Akan tetapi tetap saja tidak mempengaruhi pendirian para perwakilan Hima untuk mentolerir rekomendasi dari pihak Fakultas.
(ewn)

Dramaturgi : Bentuk Lain Dari Komunikasi

HIMIKOM
Erving Goffman
Dramturgi : Bentuk Lain Dari Komunikasi - Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.
Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November 2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”